Kakawin Aji Palayon adalah salah satu karya sastra Bali klasik yang dikarang oleh Ida Bagus Putu Bek dari Geria Suci. Adapun Geria Suci tersebut terletak di sebelah Barat Puri Gianyar atau di tengah-tengah kota Gianyar, Bali. Kakawin Aji Palayon ini ditulis dengan Bahasa Jawa Kuno dengan huruf Bali serta ditulis dengan tulisan tangan. Kakawin Aji Palayon ini menceritakan perjalanan sang atma atau roh dari meninggal sampai kepada Sang Hyang Widhi di Surga.
Ketika sang atma keluar dari badan kasarnya, dia melihat banyak saudara dan tetangganya mengelilingi badan kasarnya atau mayatnya dengan segala upacara yang beraneka ragam tertata rapi. Di samping membuat dan mempersiapkan upacara, sang atma melihat banyak orang yang menyanyikan dan membacakan Aji Palayon. Ketika dilihatnya sanak saudaranya serta tetangganya, sang atma ingin berbicara kepada mereka semua tetapi kehendaknya tersebut tidak tercapai. Ia kemudian masuk ke dalam salah satu orang yang lemah tenaganya dan berbicara kepada orang-orang di tempat itu.
Melalui orang kesurupan, sang atma mengatakan kepada para tamu dan sanak keluarganya bahwa kalau ada kesalahan yang diperbuat sang atma ketika masih hidup mohon dimaafkan. Sang atma juga berterimakasih kepada orang-orang yang ada di sekitar jasadnya karena telah memberikan persembahan berupa makanan dan sesaji yang lainnya. Semoga Tuhan membalaskan budi baik mereka semua. Sebelum pamit, tidak lupa sang atma berterima kasih kepada sang pendeta yang telah membersihkan jiwanya dan berharap semoga Tuhan memberkati sang pendeta yang telah memerciki air suci kepadanya sehingga keadaan sang atma menjadi sangat terang dan badan jiwanya menjadi ringan. Ketika sang atma meninggalkan mereka, sadarlah orang yang kesurupan tadi.
Setelah meninggalkan sanak saudaranya, sang atma menuju ke pura dalam. Di sana telah menanti Bhatara Durga dengan para hamba-hambanya atau bhuta-bhuti. Bhuta-bhuti mengerumuni sang atma seperti hendak memakannya. Sang atma lari dengan kencangnya karena takut dimakan mereka. Ketika sang atma lari, Bhatari Durga bersabda kepada sang atma supaya sang atma jangan takut kepada mereka dan sang atma disuruh diam karena Bhatari Durga melihat bahwa tidak ada dosa pada diri sang atma. Merasa senanglah hati sang atma mendengar sanjungan Bhatari Durga dan sang atma menyembahnya. Tak lupa sang atma juga memohon kepada Bhatari Durga supaya bermurah hati memberikan ketentraman kepada sanak saudaranya di dunia fana. Setelah diberkati Sang Hyang Durga, sang atma mohon pamit hendak meneruskan perjalanannya ke surga.
Sang atma keluar dari pintu gapura meneruskan perjalanannya ke surga. Sungai Serayu yang ditujunya. Di sana terdapat air yang sangat bening. Ketika sang atma sampai di sungai, ia berkumur dan mencuci muka. Lalu muncullah seekor buaya yang sangat menakutkan dan hendak menerkam sang atma. Sang atma menghindar. Setelah terhindar dari terkaman buaya, sang atma berkata pada sang buaya bahwa sesungguhnya sang buaya merupakan adik sang atma yang berasal dari ari-arinya. Setelah diberikan ujaran oleh sang atma, sang buaya diam dan menurut kepada sang atma bahkan sang buaya menyediakan diri untuk menyebrangkan sang atma ke tepi sungai.
Sesampai di seberang sungai di sana sudah menanti seorang raksasa wanita yang mengerikan. Dengan tidak merasa segan sang atma segera maju dan berbicara dengan lemah lembut kepada sang raksasa wanita. Akhirnya sang raksasa mengakui kelebihan sang atma. Setelah memberi hormat kepada sang atma, raksasa wanita itu memutar tubuhnya dan lari meninggalkan sang atma.
Setelah terbebas dari raksasa wanita yang mengerikan, sang atma bersujud dan berdoa lalu meneruskan perjalanannya menuruni lereng gunung yang curam. Di sana sang atma bertemu dengan sang macan yang mau menerkamnya. Dengan kelebihan dan pengetahuannya sang atma berhasil menaklukkan sang macan sehingga sang macan menuruti kata-kata sang atma.
Setelah melewati beberapa rintangan, sang atma meneruskan perjalanannya sambil menari dan melompat-lompat. Kegembiraan sang atma mempengaruhi para penghuni hutan lainnya. Kegembiraan sang atma tidak berlangsung lama karena sang atma dihadang oleh anjing yang tinggi dan besar. Dengan tutur katanya, sang atma berhasil mengalahkan anjing tersebut sehingga anjing tersebut mundur dan menunduk bahkan terlihat air matanya mengalir dari mata anjing tersebut.
Diceritakan perjalanan sang atma sampai di depan air yang bening. Ketika itu waktu telah tengah malam dan sang atma hendak mencuci muka. Ketika sang atma akan berteduh, ia dikejutkan oleh adanya gemuruh suara yang sangat menakutkan. Suara tersebut berasal dari sang Butakala yang telah tiga hari tiga malam tidak menyantap makanan dan kebetulan bertemu dengan sang atma. Dengan rasa ketakutan, sang atma berkata halus kepada sang Butakala bahwa sang Butakala disuruh datang ke rumah sang atma karena di sana telah disediakan makanan yang beraneka ragam. Sang Butakala lalu pergi menuju tempat sang atma untuk menyantap sesaji yang disediakan keluarga sang atma.
Rintangan yang menghadang sang atma masih berkelanjutan. Datanglah empat Butakala yang lebih menakutkan mereka adalah Sang Anggapati, Sang Prajapati, Sang Banaspati dan Sang Banaspatiraja. Keempat Butakala tersebut akan memangsa sang atma. Dengan segala pengetahuannya, sang atma akhirnya dapat menyuruh keempat Butakala pergi ke tempat sang atma karena ada sesaji untuk disantap.
Sang atma kembali melanjutkan perjalanannya. Suasana yang tenteram dengan berbagai keindahan bunga mengiringi perjalanan sang atma. Di antarabunga yang indah itu, ada sebuah pemandian yang indah sekali serta jernih airnya.[1] Tempat itu bernama Tirta Pancaka dan disitulah yang menjadi tujuan sang atma. Di sana sang atma segera berkumur dan setelah berkumur badan sang atma seperti emas.
Sang atma kemudian disongsong oleh para Dewata dan Apsari. Dengan pakaian dan perhiasan yang indah serta disinari sinar bulan, para Dewata dan Apsari menyongosng sang atma. Mereka mengiringi sang atma menuju ke surga. Oleh para Dewata dan Apsari, sang atma diantar kepada Sang Hyang Widhi. Di surga, oleh Sang Hyang Widhi, sang atma disuruh mengambil tempat dan harus melaksanakan kebenaran.
(Ida Ayu Made Ari Widyawati, S.Pd.H)